Ironi Pendidikan
Musim tahun
ajaran baru ini, terdengar ironi lagi di dunia pendidikan. Jika beberapa saat
lalu kita dibuat terenyuh dengan semangat anak-anak seperti yang terlihat di foto sebelah. Mereka harus
bertaruh nyawa setiap kali berangkat dan pulang sekolah, dengan cara
bergelantungan pada seutas tali jembatan yang telah rusak. Tidak bisa
membayangkan andai tangan-tangan mungil itu lelah menggenggam tali yang
menyangga tubuhnya. Karena mereka berjalan tanpa seutas pun tali pengaman. Sungai yang lebar serta dalam dibawahnya mengancam keselamatan mereka.
Sedangkan kali ini, ironi di dunia pendidikan itu lain lagi. Seorang anak yang memiliki ayah tunanetra di Kota Malang, Jawa Timur, ditolak masuk sekolah dasar negeri. Hal ini terjadi dalam proses penerimaan peserta didik baru (PPDB) di SDN Sawojajar 1, Kecamatan Kedungkandang, Kota Malang.
Sedangkan kali ini, ironi di dunia pendidikan itu lain lagi. Seorang anak yang memiliki ayah tunanetra di Kota Malang, Jawa Timur, ditolak masuk sekolah dasar negeri. Hal ini terjadi dalam proses penerimaan peserta didik baru (PPDB) di SDN Sawojajar 1, Kecamatan Kedungkandang, Kota Malang.
Kompas online mengabarkan, Kifli Ismunandar, orangtua
dari siswa yang ditolak, Keyla Putri (7), melaporkan penolakan tersebut kepada
LSM Koalisi Masyarakat Peduli Pendidikan (KMPP) Malang.
Kifli yang
merupakan warga Jalan Kapi Pramuja,
Sawojajar, Kabupaten Malang, mengetahui anaknya gagal masuk di sekolah tersebut
saat pengumuman penerimaan siswa baru, kemarin. "Anak saya menangis karena
tidak diterima di sekolah itu tanpa ada alasan yang jelas," aku
Kifli.
Berdasarkan
cerita Keyla kepada Kifli, saat menjalani tes akademik, Keyla sudah berhasil
menjawab dengan lancar semua pertanyaan yang diajukan guru penguji selama 15
menit. Setelah itu, guru penguji bertanya soal pekerjaan ayah Keyla. Dengan
polos Keyla pun menjawab kalau bapaknya tidak bekerja karena tunanetra.
Sementara ibu Keyla tukang cuci dan setrika baju.
Menurut
Keyla, setelah mendengar jawaban tersebut, si guru penguji terdiam dan tak
melanjutkan pembicaraan dengan Keyla.
"Anak
saya langsung kecewa. Apakah karena jawaban tentang pekerjaan itu yang membuat
anak saya gagal masuk SDN Sawojajar 1, atau karena faktor lain? Ini belum jelas
alasan sekolah," kata Kifli.
Kifli memang
bukan warga Kota Malang. Namun,
sekolah yang paling dekat ke rumahnya adalah SDN Sawojajar 1. Banyak pula anak
dari tetangga Kifli yang bersekolah di SDN Sawojajar 1. "Memang sekolah
yang terdekat adalah SDN Sawojajar 1," ujarnya.
Setelah mendapatkan pengakuan Keyla,
kemarin Kifli langsung mendatangi sekolah tersebut. Tujuannya untuk
mempertanyakan alasan penolakan Keyla sebagai siswa SDN Sawojajar 1. "Saya
hanya ingin tahu, apa alasan pihak sekolah menolak anak saya. Apa karena
nilainya jelas atau alasan lain?" katanya.
Sayangnya, Kifli tidak berhasil menemui
kepala sekolah. Tidak ada
satu pun perwakilan sekolah yang juga mau menemuinya. "Saya hanya ditemui
salah seorang anggota komite sekolah dan dijanjikan untuk dipertemukan dengan
pihak sekolah pada Sabtu besok," aku Kifli.
Menurut juru
bicara KMPP Malang, Didit Sholeh, Kifli memang melaporkan kasus yang menimpa
anaknya itu ke mereka. "Kasus yang diadukan oleh Pak Kifli itu menunjukkan
jika ada yang tidak beres dalam PPDB," katanya.
Menurut
Didit, pihak sekolah dinilai sudah melakukan pelanggaran hak asasi manusia
karena seorang anak gagal menikmati hak untuk belajar. "Buktinya, ada
pertanyaan tentang pekerjaan orangtua. Apalagi orangtua Keyla seorang
tunanetra. Kami akan melakukan advokasi masalah kasus ini," ungkap Didit.
"Pihak Dinas Pendidikan Kota Malang harus segera turun tangan karena
pelanggaran itu sudah masalah kemanusiaan, jelas melanggar HAM," ucapnya
lagi.
Secara
terpisah, anggota Komisi D DPRD Kota Malang, Sutiadji, menegaskan bahwa yang
jelas, sekolah tidak boleh melakukan diskriminasi terhadap para siswa dengan
alasan tidak menerima calon siswa karena orangtua siswa tidak mampu, apalagi
tunanetra. "Kalau benar ada sekolah melakukan diskriminasi, Dispendik Kota
Malang (Dinas Pendidikan Kota Malang) harus tegas dan memberi sanksi kepada
pihak sekolah bersangkutan," katanya.
Sutiaji juga
berjanji, pihaknya akan segera melayangkan surat teguran kepada Dinas
Pendidikan Kota Malang, atas kasus tersebut. "Dinas Pendidikan harus
bertindak tegas atas pelanggaran itu," katanya.
Sementara itu, Kepala SDN Sawojajar 1
Bettin Juniaria Herina Sutrisnawati membantah tuduhan Kifli tersebut, saat
dihubungi melalui telepon. "Semua pengakuan Kifli tidak benar. Jelas
pengakuan itu tidak benar. Kalau ngotot ingin
masuk, silakan temui saya," kata Bettin.
Menurutnya, tidak ada kriteria orangtua
dan tidak ada sesi wawancara dengan calon siswa. "Kita juga masih menanti daftar
ulang. Kalau ada yang mengundurkan diri, bisa diisi calon lain. Ada 10 orang
sistem cadangan," kata Bettin.
Menurutnya,
kriteria untuk masuk SDN Sawojajar 1 adalah batasan umur 7 tahun sampai 12
tahun serta siswa mampu membaca abjad. "Untuk nilai hasil tes, tidak
diumumkan karena internal sekolah. Yang jelas dalam tes itu tak ada pertanyaan
atau wawancara soal kondisi orangtua. Tidak benar kalau dikatakan sekolah tanya
kondisi orangtua," ujar Bettin lagi.
Sayangnya statemen tersebut dikeluarkan
setelah berita ini ramai dibicarakan. Seandainya ibu kepala sekolah mau menemui
sang ayah ketika meminta penjelasan, tentu ironi di dunia pendidikan tak akan
terjadi dan bisa segera diklarifikasi.
Apa pendapat Anda ?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar